Oleh Anwar Hudijono
Warga pesantren sudah mafhum betul, setiap menghadapi ujian itu yang jadi pegangan pokok adalah Al Quran dan Hadits. Di antaranya di Quran Surah Al Baqarah 152 – 157. Ujian itu bisa berupa ketakutan, kelaparan, kekurangan harta atau miskin, jiwa (sakit, mati), dan buah-buahan atau pangan.
Dimulai dengan rasa syukur dan jangan ingkar kepada Allah. Fadzkuruni adzkurkum wasykuri wala takfurun. Maka ingatlah kepada Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku. (Ayat 152).
Bersikap sabar dan melakukan shalat. Yakin Allah bersama orang yang sabar. Ending dari sabar dan shalat itu akan mendapat ampunan dan rahmat dari Allah. Dengan begitu termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk.
Penyelenggaraan pendidikan di pesantren itu memiliki paradigma, asas atau khittah yang sangat kokoh yaitu sebagai pengamalan jihad fi sabilillah. Menjalankan perintah Allah untuk menyiapkan generasi beriman dan berilmu. Cerdas. Ulul albab. Ilmu yang dikembangkan adalah ilmu yang barokah. Hanya orang berilmu yang bisa memahami ayat-ayat Allah. Maka paketnya adalah iman-ilmu-amal sholeh.
Antitesisnya adalah setan yang suka kebodohan. Membikin manusia bodoh. Agar mudah ditipu. Dijerumuskan ke neraka jahanam.
Setan juga akan menutup orang berilmu dari iman sehingga ilmunya membawa kerusakan. Contohnya Qorun, orang cerdas. Dengan kecerdasannya menjadi kaya. Akhirnya termasuk golongan mufsidin (berbuat kerusakan di bumi).
Sistem pembelajaran pesantren sudah memiliki pedoman, khasanah sendiri dan teruji beradab-abad. Di antaranya tak bisa diganti dengan model pembelajaran virtual. Pendidikan pesantren sangat mengutamakan pembentukan sikap. Karakter. Ahlak. Sampai-sampai kitab Ta’lim al Muta’alim sebagai referensinya diajarkan sekitar dua tahun.
Pembentukan sikap tidak bisa dilakukan secara virtual. Melainkan harus dalam praktek kehidupan sehari-hari. Melalui pembiasaan. Seperti pembiasaan shalat jamaah, shalat tahajud, baca Quran, silaturahmi. Kedekatan personal santri dengan kiai. Jalinan hubungan batin yang intens. Sanftri magang kepada kiai. Santri yunior magang kepada santri senior. Dibingkai dalam jamaah. Tidak ada Islam tanpa jamaah. Tidak ada jamaah tanpa baiat (kesetiaan).
Maka proses pembelajaran di pesantren berlangsung 24 jam. Di situlah letak perannya sebagai penjaga dan pengembang budaya belajar.
Hidup normal
Praktis pesantren sudah kembali berpikiran sehat. Hidup normal. Dan ternyata thayib-thayib (baik-baik) saja. Pesantren tidak kiamat. Tidak jadi sumber bencana Covid-19.
Ingat, dulu setelah kasus Covid di Pesantren Temboro di awal Covid, disusul pesantren lain seperti Gontor, masyarakat pesantren diganyang, diharu-biru. Disalah-salahkan.
Tapi warga pesantren tetap sabar dan tenang-tenang saja. Ikhlas menerima. Dicaci maki, dipersekusi itu sudah konsekuensi ketika mencintai Allah. (Quran, Al Maidah 54).
Kalau ada yang terinfeksi Covid-19 ya diobati seperti halnya penyakit lain. Karena memang begitu petunjuk Islam. Sakit ya diobati. Diobati itu endingnya ada dua, sembuh atau mati. Gak ada yang luar biasa. Tidak ada kamus ending Covid-19 mesti mati. Tidak ada catatan ending bahwa batuk pilek encok wazir mesti berakhir sembuh.
Jika ada yang mati karena Covid-19 tetap dipandang peristiwa biasa. Diterima dengan ikhlas. Sudah takdir Allah. Pembaca Ratib Hadad pasti mafhum akan menerima takdir Allah yang baik maupun yang buruk.
Tidak kena Covid pun orang pasti mati. Orang tidur di kasur empuk di rumah saja juga bisa mati. Makan kerupuk keleleken toplesnya juga bisa mati. Ketiban paku juga bisa mati karena pakunya katutan beton cor. Orang pesantren mafhum sekali bahwa mati itu, baik waktu dan tempat, sudah menjadi takdir Allah.
Tidak peduli dengan narasi kasus Covid yang didramatisasi seperti film horor. Super mengerikan. Bahwa penderita Covid akan dikarantina di rumah sakit sendiri. Sejak berangkat dari rumah bisa tidak akan melihat keluarga lagi selamanya. Pemakamannya di tempat khusus. Dilakukan secara khusus dan penuh mistis.
Narasi atau framing seperti itu akan ditanggapi dengan santai, bahwa orang mau mati juga gak pernah mikir ada keluarga apa tidak. Merasakan sakaratul maut saja sudah luar biasa sakitnya, boro-boro mikir keluarga, apalagi mikir partai dan duit. Orang mati itu pasti sendirian. Anak istri/suami juga gak mau mengikuti.
Orang yang sudah mati juga gak ngurus apa dimakamkan di pemakaman umum atau di pemakaman khusus Covid-19. Memang kalau di pemakaman khusus pertanyaan kuburnya berbeda? Siksa kuburnya didiskon?
Kesabaran mereka itu seperti lautan. Diprovokasi, dijejali hoax, dipropaganda, didisinformasi tetap tak berubah.
Otoritas
Langkah pesantren ini, insya Allah sudah mengilhami banyak penyelenggara sekolah. Mereka semakin berakal sehat menyikapi Covid. Mempertanyakan yang disiplin prokes seperti Doni Monardo, Anies Baswedan, Khofifah juga kena Covid. Yang di pasar sehari-hari nyaris tanpa prokes tidak apa-apa. Yang sudah vaksin bisa terinfeksi. Terus apa?
Kok seperti gak pernah ada berita mall, café, sarana dugem jadi sarang Covid. Kalau ada sekolah atau pesantren yang kena, dunia maya seperti mau runtuh. Orang yang tidak percaya Covid terinfeksi jadi berita dahsyat. Orang yang percaya Covid dan terinfeksi senyap dari pemberitaan.
Diam-diam sudah banyak sekolah melakukan tatap muka. Wisuda sekolah pun dilakukan sembunyi-sembunyi. Ada yang pakai sistem drive thru. Sudah membuat festival. Dan itu bagus. Dan aman-aman saja.
Para guru sangat mafhum bahwa pendidikan tidak identik dengan sekolah. Sekolah tidak identik dengan kelas. Kelas tidak identik dengan sepetak ruang dengan papan tulis dan meja-kursi. Belajar biasa di mana saja. Jadwal bisa diatur. Di situlah mereka berkreasi untuk keluar dari ancaman matinya budaya belajar.
Penyelenggara sekolah, kepala sekolah para guru sebenarnya sudah mampu melepaskan diri dari cenkeraman Covid-19. Tapi masih ada yang mencekeram mereka yaitu pihak otoritas. Bisa itu yayasan, organisasi yang menaungi. Juga otoritas lain. Nah, siapa otoritas lain itu? Di sini saya juga bertakon-takon.
Konon sebenarnya sudah banyak yayasan dan organisasi yang sudah lepas dari cengkeraman paranoid pandemi Covid-19. Tapi mereka masih bersikap hati-hati dan bijaksana. Khususnya kalangan muslim. Sebab bisa muncul fitnah yang tak kalah dahsyat bahwa umat Islam itu melawan pemerintah. Tidak mau taat. Nah, akan menciptakan pandemi fobia Islam. Bisa menjadi pemantik dahsyat kerusakan sosial, bahkan negara.
Di banyak belahan dunia, kini dunia pendidikan banyak berharap kearifan otoritas. Sayangnya, kadang pendidikan itu justru berada di bawah orotitas subyek yang tidak paham pendidikan. Lebih peduli urusan uang dibanding sumber daya manusia. Yang paling tragis itu jika otoritas lebih percaya bahkan menghamba kepada artificial intelligent (AI) dibanding kemanusiaan.
Dan siapakah operator terbesar artificial intelligent global ini? Jangan tanya saya. Karena paling-paling akan saya jawab, “Embuuuh hahahaa.”
Teliti dulu
Di akhir tulisan ini, saya mohon pembaca tidak begitu saja setuju, like dan share tulisan ini. Hati-hati. Teliti dulu. Apalagi ini tulisan orang yang sangat awam.
Ini era disinformasi. Di ranah publik sudah tidak jelas mana hoax dan mana yang benar. Mana info palsu dan mana yang ori. Campur baur tidak keruan. Orang-orangnya pun juga tidak jelas mana yang fasik mana yang baik.
Kita harus belajar cerdas dan bijaksana menyikapi setiap informasi. Untuk itu, ikutilah petunjuk Allah dalam Quran surah Al Hujurat 6: “Wahai orang yang beriman jika orang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan) yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu”.
Astaghfirullahal adhim.
Rabbana atina min ladunka rahmah wa hayyiklana min amrina rosada. Ya Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah petunjuk yang lurus bagi kami dalam urusan kami.” (Quran, Kahfi 10).
Rabbi a’lam (Tuhan lebih tahu).
Anwar Hudijono, penulis tinggal di Sidoarjo.