PWMU.CO – Hingga menjelang siang, Pelatihan Jurnalistik Softnews: Menulis Fakta Rasa Sastra yang diselenggarakan Tim Sinergi Jurnalistik Mugeb School, Kamis (11/2/2021) tetap membuat peserta antusias. Mereka aktif bertanya saat pemandu acara Mar’atus Solichah SPd membuka sesi tanya jawab.
Pemimpin Redaksi PWMU.CO Mohammad Nurfatoni yang menjadi nara sumber pada pelatihan itu langsung menemukan pertanyaan di kolom obrolan Zoom Clouds Meeting.
“Mendeskripsikan (seseorang dalam menulis berita) dengan (merujuk pada) referensi yang memperkuat apakah bisa?” tanya Anis Shofatun SSi MPd Guru SMP Muhammadiyah 12 GKB (Spemdalas) ruang chat Zoom.
Saat itu Fatoni—sapaan akrab Mohamamd Nurfatoni—mengira bahwa pertanyaannya diajukan oleh Istandi Ajudin MPd, Kepala SMP Muhammadiyah 8 Benjeng, Gresik. Padahal saat itu Istandi masih terkendala sinyal sehingga belum bisa menyampaikan pertanyaannya secara langsung maupun dengan menulis di kolom obrolan.
“Bisa!” jawab Fatoni mantab. Tetapi menurutnya, deksripsi yang merujuk pada referensi akan sesuai jika dilakukan dalam hal-hal tertentu. Yaitu ketika merujuk pada referensi tentang keterangan seseorang, misal pengalaman organisasinya.
“Kalau mau menulis Pak Din Syamsuddin, kalau hanya disebut kata Din Syamsuddin, Din Syamsuddin terus … kan mbelenger (membosankan). Maka cari referensi Pak Din Syamsuddin, pernah menjadi apa saja, misal Pengasuh Pondok Pesantren Internasional Dea Melale, ketua MUI tahun berapa, dan sebagainya,” jelasnya.
Sebab, jika penulis berita mendeskripsikan penampilan fisik nara sumber atau sosok yang ditulisnya melalui buku referensi, maka datanya bisa jadi tidak sesuai fakta yang terkini.
“Kalau pakai referensi kadang (kenyataannya) sudah berubah. Sosok itu harus kita lihat pada hari H-nya. Misalnya waktu itu Pak Din berjenggot nggak, ya? Kadang referensinya berjenggot, tapi saat itu dipotong,” ungkap Fatoni memberi saran agar deskripsi yang ditulis di berita sesuai dengan kenyataan.
Jujur dalam Menyajikan Berita
Pertanyaan menarik juga datang dari seorang guru SD Muhammadiyah 1 Menganti, Ika Heri Pratiwi SPd. Ia menanyakan, “Bagaimana jika seorang jurnalis menemukan kesalahan dalam penulisan sedangkan media telah menerbitkannya?”
Dengan santai dan bijak, Fatoni bisa memahami jika ada kesalahan dari jurnalis. “Kesalahan adalah manusiawi. Wartawan, media boleh salah, bisa diralat,” ujarnya.
Asalkan, sambungnya, kesalahan yang dilakukan bukan tergolong fatal, seperti penipuan dan menyangkut SARA. “Kalau kesalahannya nggak menyangkut SARA, nggak fundamental, nggak fatal, datanya nggak tipu-tipu ya nggak apa,” terangnya.
Kemudian ia menegaskan jika jurnalis melakukan kesalahan, maka sebaiknya mengakui dan memperbaikinya, bukan malah menutupinya. “Yang tidak boleh adalah menutupi kesalahan!”
Sehingga, untuk memperbaikinya bisa dilakukan dengan meminta ke admin atau redaktur agar merevisinya. “Tolong (diganti), yang sudah terbit itu salah,” tuturnya memberi contoh.
Ia menceritakan, bahkan pada salah satu media besar mainstream juga wartwannya juga pernah melakukan kesalahan fatal berupa wawancara fiktif. “Ada wartawannya yang wawancara imajiner tetapi dianggap sebagai fakta, sehingga dipecat setelah ketahuan,” ungkapnya.
Mohammad Nurfatoni (kiri) dan Rahmat Syayid Shuhur. Pesan Terakhirnya di Pelatihan Menggetarkan. (Tangkapan layar Sayyidah Nurriyah/PWMU.CO)
Semangat Menulis Berita
Bagaikan mati satu tumbuh seribu. Usai Fatoni menjawab sebuah pertanyaan, muncul tiga pertanyaan dari Kepala Urusan Kesiswaan di SD Muhammadiyah 1 Wringinanom Rahmat Syayid Shuhur MPdI.
Salah satunya, “Apakah psikologis seseorang mempengaruhi saat menulis suatu berita?” Ia menceritakan ketika banyak tugas, maka membutuhkan waktu tertentu untuk menulis hingga bisa muncul inspirasi baru.
General Manager Cakrawala Print ini ternyata mengiyakan pertanyaan Syayid. Sebab ia juga mengalami hal yang sama. “Kalau mengedit yang berat-berat saya pilih pagi, energinya masih baru,” ujarnya sambil menaik-turunkan pundak dengan semangat dan ceria.
“Tapi kalau malam sudah capek,” ujarnya. Tapi buru-buru ia menambahkan, “Tapi kadang perlu juga menulis di malam hari di tengah kesunyian.”
Ia juga menyatakan, masalah ini wajar dialami penulis. Hanya saja jika sudah menjadi profesinya, maka masalah ini tidak boleh mempengaruhi. “Alasan mood dan sebagainya harus dihilangkan,” tuturnya.
Bapak dari lima anak ini mengaku memiliki cara yang ampuh dalam mengatasi masalah tersebut. Yaitu dengan mengingat-ingat kalimat ini, “Kita ditunggu pembaca! Kita harus tepis dulu masalah ruwet di pikiran dan di hati.”
Yang ditanyakan Sayyid ternyata bersambung dengan permintaan yang disampaikan Ketua Sinergi Pusat Bahasa Spemdalas Dina Hanif Mufidah SPd agar diberi tips memotivasi diri. “Agar tetap bersemangat menulis, selain (karena didorong) tanggung jawab dan perintah untuk memasarkan sekolah,” ucapnya.
Menjawab itu, Fatoni mengatakan, motivasi internal adalah yang terbaik. “Motivasi terbaik adalah motivasi dari dalam diri.” Hal ini dibuktikan dengan beberapa sikap. Seperti tetap mau menulis dalam kondisi apapun. Tidak peduli dengan kehadiran orang lain. Sedang dalam kondisi mood yang baik atau tidak, pekerjaan lagi banyak atau tidak, dikasih reward atau tidak, bahkan dikasih SK atau tidak.
“Kalau panggilan jiwa, agar produktif, tulisannya bagus, menginspirasi, nanti kalau kita meninggal tulisan kita masih tersisa, dibaca orang dapat pahala, bukankah itu akan mengalirkan pahala?”
Ia tersenyum sejenak, lalu mengucap perlahan dengan rona wajah bahagia, “Khalidiina fiha abadan … (kekal di dalamnya selamanya).”
“Jadi Bu Dina hanya menyindir yang lain, kan sudah menulis setiap hari,” sindir Fatoni sambil tertawa. Namun di kolom obrolan, Dina membantah. Ia menyatakan sedang merasa “menyindir diri sendiri”.
Saat dikonfirmasi Senin (22/2/2021), Fatoni mengungkapkan potongan ayat ini menegaskan bahwa jejak digital akan kekal di dalam internet.
“Jejak digital itu kan gak bisa hilang. Sumber asli sudah dihapus, tapi orang lain sudah copas,” jelasnya. Jadi selama jejak digital penulis membekas di internet dan bermanfaat bagi pembacanya, maka pahalanya juga akan terus mengalir. Demikian pula jika menyangkut jejak digital yang jelak, dosanya ‘abadi’.
Mohammad Nurfatoni (atas) membahas tulisan salah peserta. Pesan Terakhirnya di Pelatihan Menggetarkan.(Tangkapan layar/PWMU.CO)
Belajar dari Review Tulisan Peserta
Voila! Setelah menunggu 50 menit—DARI rencana awal 30 menit—tulisan hasil praktik peserta pertama masuk ke ponsel moderator dalam format lembar kerja Ms Word. Darinya, kemudian diteruskan kepada Ketua Sinergi Jurnalistik dan Literasi Ichwan Arif SS MHum. Itulah tulisan Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan SD Mugeb Erna Ahmad MPd.
Fatoni bersiap mengulas tulisan Erna. Sesekali ia tampak menyedot Teh Kotak Less Sugar, kemudian memasang kaca mata dengan gagang hitam kekinian.
Pandangannya kini beralih ke ponsel, tidak lagi ke layar laptop yang masih menyala dihadapannya. Ia tampak bingung mencari tulisan Erna yang kata moderator telah masuk di grup WhatsApp. “Ini mana, di grup kok nggak ada?” ujarnya.
Setelah moderator mengirim ke grup, Fatoni menyadari tulisan dikirim dalam format lembar kerja Ms Word. Ia meminta agar naskah langsung dikirim ke grup WhatsApp pelatihan jurnalistik melalui fitur teks di kolom obrolan, sehingga tidak perlu membuka di aplikasi lainnya.
“Teks WA saja, leren mbuka iki (perlu membuka di tempat lain ini),” ucapnya.
Dengan sigap panitia membantu membuka lembar kerja tersebut. Saat menunggu proses membuka selama 18 detik, Fatoni tampak bingung mencari tampilan lembar kerja di layarnya. “Belum ditampilkan, ya?” tanyanya.
Hingga selang 20 detik kemudian, lembar kerja belum juga tampak di layar. Sebagian peserta ikut memantau. Sebagaimana yang tampak di layar Zoom, Firdausi Nuzula SPd, Saroni SPd, dan Farikhah SPd fokus memantau layar. Sementara itu Koordinator Bidang IT Ahmad Nasafi SPd tampak cemas dengan memainkan dan menautkan jemarinya.
Tak sabar mengulas, Fatoni kembali menanyakan tulisan yang tak kunjung tampil di layar. “Mana ini?”
“Masih proses ditampilkan Pak,” jawab Mar’ah.
“Oh proses… Tak pikir layar saya yang nggak keluar,” ujarnya sambil tertawa. Lalu disambut dengan munculnya tulisan di layar beberapa detik kemudian. Sebuah paragraf di laman kerja Ms Word tampak jelas.
Dengan pengamatan kritisnya, Fatoni melontarkan pertanyaan, “Berapa alinea ini?”
“Satu, Pak,” jawab Mar’ah.
“Belum ganti hari (dari pelatihan) sudah lupa,” celetuknya sambil tertawa, kemudian melanjutkan berkomentar, “Kalimatnya panjang-panjang, paragrafnya jadi satu,”
Ia lantas menemukan sebuah pernyataan opini yang seharusnya tidak boleh disebutkan dalam berita. “(Pernyataan) sekolah unggul ini opini ya!”
Ia lantas menanyakan parameter sekolah unggul yang bisa dikutip sebagai data faktual, bukan opini. “Yang boleh, misal dia mendapat kriteria juara sebagai sekolah apa, baru dikutip di situ,” jelasnya
Ia menyarankan agar menuliskan data yang objektif dan faktual. Lalu memberi contoh yang sederhana, misalnya ‘cantik’ itu opini. “Hidungnya mancung, matanya sipit punya lesung pipi itu namanya deskripsi yang objektif.”
“Unggul itu apa?” Ia kembali menggiring peserta ke pembahasan semula, lalu mencontohkan, “Kalau di ME Award dapat apa ya boleh dirujuk di situ,” ulasnya.
Pria yang pernah menjabat sebagai Sekretaris Yayasan Bina Qalam Indonesia ini melanjutkan bahwa pernyataan seperti ‘sekolah unggul’ harus berdasarkan penilaian orang lain, bukan menurut kepala sekolah.
“Sekolah kita unggul, tapi nggak ada buktinya berapa piala disebut di situ,” ujarnya kritis.
Selain itu, ia juga menyoroti penulisan kata asing. “Masih banyak kata-kata asing tidak diberi tanda kurung (teremahan),” kritiknya.
Lantas ia kembali menegaskan, opini penulis tidak diperkenankan dimuat dalam berita. “Opini itu tidak ada ukurannya, padahal jurnalisme itu ada ukurannya!” ungkapnya lugas.
Masalah serupa kembali ia bahas ketika menemui kalimat opini dari tulisan peserta lain, yaitu dari Ketua Program Sinergi Informasi Teknologi (IT) Yugo Triawanto MSi.
“Seharusnya wartawan itu hanya menjelaskan. Tugas wartawan selain wawancara adalah mendeskripsikan. Sedangkan opininya diambil dari hasil wawancara ke orang lain. Minta pendapatnya orang lain,” paparnya.
Karena keterbatasan waktu, semangat Fatoni untuk mengulas naskah lainnya yang masuk saat itu harus diakhiri. Moderator mempersilakan Fatoni melanjutkan ulasannya di luar sesi pelatihan.
Pesan Terakhir Fatoni: Tulisan yang Menggetarkan
Di saat detik-detik terakhir sebelum kegiatan pelatihan itu ditutup, Fatoni menyampaikan pesan kepada peserta untuk membaca apa saja, termasuk yang tidak tersurat di alam semesta.
“Termasuk perjalanan dalam bepergian, dalam berinteraksi, semua akan menjadi bahan tulisan kita yang penuh warna,” ujarnya.
Ia menambahkan, seorang penulis memang bisa mengambil sinonim kata-kata yang bervariasi di kamus Tesaurus, tapi ia percaya bahwa hal-hal yang ditemukan di luar textbook itulah yang unik.
“Tetapi dengan ayat-ayat yang tidak tertulis, dengan bergaul dengan orang lain, orang miskin, orang-orang yang terlantar, kita akan menemukan ayat-ayat yang tak tertulis,” ucapnya dengan suara bergetar.
Menurutnya, di situlah penulis bisa mendapat tulisan yang bagus. Tulisan yang menggetarkan. “Ceritakan bagaimana perjuangan seorang bapak miskin yang bisa menyekolahkan anak-anaknya dengan menjadi tukang sol sepatu,” ujarnya memberi contoh.
Contoh lain, misalnya di Lazismu ada data-data orang yang dibantu, maka bisa ditulis perjuangan mereka dalam kesusahan ekonomi, tetapi tetap berjuang hidup untuk keluarganya.
“Itu semua kita baca di alam semesta. Di kitab-kitab yang tidak kita temukan di buku-buku,” terangnya dengan mata berkaca-kaca.
Baginya, tulisan seperti itu akan lebih menggetarkan dan menggerakkan orang lain untuk berbuat lebih baik. Dengan tenang, ia menutup pertemuan itu dengan pernyataan menggugah, “Menulis adalah perjuangan dan panggilan hati untuk memberi manfaat yang lebih baik!” Tulisan yang menggetarkan! (*)
sumber : https://pwmu.co/179555/02/23/pesan-terakhirnya-tentang-tulisan-yang-menggetarkan/