Oleh : @wilhas80
Mohammad Natsir atau M. Natsir (1908-1993) bukan hanya tokoh dan pemimpin Islam nasional tetapi juga tokoh dan pemimpin Islam internasional. Pernah menjabat Perdana Menteri NKRI yang pertama dan Ketua Umum Partai Islam terbesar di Indonesia Masyumi, M. Natsir memainkan perannya sebagai tokoh bangsa di dunia internasional.
M. Natsir sebagai Ketua Umum Masyumi melakukan lawatan ke beberapa negara timur tengah (1952), menghadiri dan dipilih secara aklamasi menjadi Pimpinan Sidang Muktamar Alam Islamy di Damaskus Suriah (1956), mengerahkan solidaritas masyarakat Indonesia untuk membantu perjuangan kemerdekaan negara-negara di Afrika Utara (1956), dan melakukan kunjungan ke negara-negara timur tengah atas undangan pemerintah Saudi Arabia, Yordania, dan Kuwait.
M. Natsir pernah menjabat sebagai Vice President World Muslim Congress yang bermarkas di Karachi Pakistan (1967-1993), Anggota Majlis Ta’sisi Rabithah Alam Islamy yang berpusat di Makkah Saudi Arabia (1969-1993), Majlis A’la Al Islami li Al Masajid (Dewan Masjid Sedunia) 1976-1993, Ketua Tim Penyelesaian Masalah Muslim Moro Filipina Selatan, Organisasi Konferensi Islam (OKI) 1978, Anggota Dewan Pendiri Al Haiah Al Khairiyah Al Islamiyah Al A’lamiyah yang berpusat di Kuwait (1989), Anggota Dewan Pendiri Oxford Islamic Studies Inggris (1987), dan Anggota Kurator Internastional Islamic University, Islamabad Pakistan (1987).
Tak terkecuali perhatian M. Natsir kepada masalah Palestina. Dalam sidang-sidang di berbagai organisasi Islam dunia yang diikutinya, masalah Palestina tidak pernah luput dari perhatiannya. M. Natsir termasuk salah seorang yang pertama kali menginternasionalisasikan masalah Palestina. Propaganda Israel dan negara-negera barat pendukung Israel menyebutkan bahwa masalah Palestina adalah masalah internal. Masalah negara Palestina dan Arab bukan masalah dunia internasional. Tokoh-tokoh seperti M. Natsir yang membuka mata dunia khususnya dunia Islam bahwa masalah Palestina adalah masalah dunia internasional dan masalah dunia Islam. Apa yang terjadi di Palestina adalah penjajahan dan tindakan biadab atas kemanusiaan yang dilakukan oleh penjajah Zionis Israel.
Salah satu bentuk perhatian M. Natsir kepada masalah Palestina adalah memaksimalkan media sebagai alat pemberitaan dan propaganda masalah Palestina. Ia mengabarkan dan mengingatkan kepada masyarakat Islam dunia bahwa ada saudara mereka yang terjajah dan terdzalimi di belahan bumi bernama Palestina. Ia mengarahkan perhatian dunia internasional bahwa ada kasus penistaan terhadap kemanusiaan yang terjadi di bumi Palestina.
M. Natsir menulis satu buku berjudul “Masalah Palestina”. Buku yang terbit pada tahun 1970 ini memuat pemikiran-pemikiran M. Natsir tentang masalah Palestina di antaranya; Sejarah kaum Yahudi menduduki Palestina, peperangan Arab-Israel yang dimenangkan Israel, sejarah gerakan Zionis, Palestina adalah masalah kaum Muslimin, hakekat masalah Palestina, kondisi negara-negara di sekitar Palestina, dan harapannya untuk Palestina ke depan.
Selain takabbur, kata Natsir, orang Yahudi juga memiliki sifat seperti ulat di atas daun pisang. Daun pisang hancur berlubang-lubang sedangkan badannya sendiri gemuk dan sehat. Itulah kenapa sejak berabad-abad bangsa Yahudi adalah bangsa yang dibenci dimana-mana. Di Eropa mereka dikejar-kejar dan dibunuh tetapi di bawah naungan Khilafah Islamiyah dan di tengah-tengah umat Islam mereka aman. Karena merasa aman di tengah umat Islam, muncul kembali sifat asli mereka yaitu rakus dan murka terhadap kekuasaan dan harta benda. Timbul kembali ketakaburannya merasa sebagi bangsa paling mulia dan paling hebat. Karena kedengkian mereka kepada Islam dan umatnya, mulailah mereka membuat makar sampai jatuhnya kekhilafahan Utsmaniyah.
Perang Arab-Israel terjadi, dimenangkan oleh Israel. Sengketa terus terjadi dari 1956-1959. Pada tahun 1956, Muktamar Alam Islamy mengadakan pertemuan untuk membahas kenapa Arab kalah perang? Kata Natsir, ‘Apa gerangan yang menjadi sebab kekalahan kita, padahal kita tujuh orang (negara), mereka satu? Natsir menyatakan salah satu kelemahan umat Islam adalah tidak dapat bersatu menghadapi musuh. Tujuh negara Arab itu dipecah-belah dan diadu domba sehingga menghilangkan kesatuan dan kesamaan visi perlawanan terhadap penjajah Israel.
Natsir dalam buku Pesan Perjuangan Seorang Bapak; Percakapan antar generasi (1988) mengisahkan, Rabithah Alam Islamy telah berkali-kali mencoba mendamaikan negara Arab. Akan tetapi masing-masing negara Arab merasa lebih puasa untuk “berjuang” sendiri-sendiri melawan Israel sementara Israel dan negara-negara Barat pendukungnya terus berusaha memecah-belah dan mengadu domba mereka. Dalam buku itu Natsir mengatakan, jika Israel membongkar Masjidil Aqsha dan menggantinya dengan Kuil Yahudi, negara-negara Arab akan menghadapi dua pilihan terakhir, yaitu hancur sama sekali atau berjihad habis-habisan.
Menghadapi Israel menurut Natsir, bukan soal sepotong tanah bernama Palestina. Tetapi soal kita menghadapi suatu gerakan aqidah, gerakan kepercayaan yang beraksi dengan teratur dan tertib. Kita berhadapan dengan satu gerakan agama yang beraksi politik internasional. Gerakan yang saling bekerjasama antara Zionisme, Kristen dan Komunisme.*
Natsir menegaskan, bahwa kita akan mampu menghadapi Israel dan sekutunya hanya dengan Aqidah Islamiyah. Tetapi, menurutnya, bukan aqidah Islamiyah yang di bawah bibir, yang kosong daripada amal. Akan tetapi aqidah yang beramal, yang inter-Islamic sekurang-kurangnya, kalau tidak internasional. Maka oleh karena itu, kata Natsir, kita harus melihat bahwa masalah Palestina bukanlah masalah lokal, bukanlah masalah orang Arab, bukanlah semata-mata masalah teritorial, tapi adalah masalah Islam dan umat Islam seluruhnya.
Di penghujung tahun 1959 terlaksana Muktamar Alam Islamy di Baitul Maqdis. M. Natsir saat itu mengirimkan pidato via radio untuk membahas masalah Palestina. Muktamar berulang-ulang terjadi, sampai kepada satu kesimpulan bahwa masalah Palestina bukan masalah lokal. Jadi tidak bisa dihadapi secara lokal. Harus dihadapi bersama-sama. “Kal jasadil wahid”, baik di dalam dunia Arab maupun di luar Arab, di manapun orang Islam berada.
M. Natsir menuliskan bahwa titik tolak (mabda) Zionisme adalah ajaran Yahudi sendiri. Mereka yakin Palestina adalah milik mereka. Dan mereka harus kembali ke sana. Pendiri dan pemimpin gerakan Zionisme, Theodore Herzl pada Kongres Zionist Sedunia 1897 di Basel menegaskan, “Kita harus kembali ke sana (Palestina) dan apa yang dinamakan Majidil Aqsha itu harus diganti dengan mendirikan Haikal”. Jadi menurut Natsir, “masalahnya bukan semata-mata ingin memiliki sepotong tanah, karena tanah lain masih banyak bahkan lebih luas dan subur dari Palestina. Akan tetapi ini adalah “unsur Agama”.* Bukanlah masalah ini semata-mata soal sekuler dan soal agamis.”
Salah satu cara menghancurkan kekuatan umat Islam adalah dengan meruntuhkan moralitasnya. Itulah yang dilakukan Israel dan bangsa-bangsa Barat. Dengan keruntuhan moral, Natsir memandang umat Islam tidak lagi memiliki kecemburuan dan rasa pembelaan terhadap agamanya. Sehingga sampai kapan pun jika umat Islam tidak melepaskan diri dari jeratan kerusakan moral, umat Islam tidak akan mampu membebaskan Palestina dari jajahan Israel.
Natsir menutup bukunya dengan optimisme bahwa umat Islam Indonesia akan memiliki peran besar dalam perjuangan pembebasan Palestina. Natsir katakan, rakyat Palestina mempunyai harapan yang tinggi kepada Indonesia di mana rakyat muslimnya terbanyak di dunia. Rakyat Palestina, menurut Natsir, merasa bahwa Indonesia lebih akrab kepada mereka dan lebih awal berhubungan dengan mereka di timur tengah. Bahwa juga penting diingat, bangsa yang pertama kali mendukung moril dan materil kemerdekaan bangsa Indonesia (setelah dijanjikan oleh Jepang) jauh sebelum Proklamasi kemerdekaan RI adalah bangsa PALESTINA