PWMU.CO – Satu kali tepuk jurnalistik! Prok…, prok…, prok…! Semangat! Menulis! Kreatif! Begitulah Mar’atus Sholichah mengajak peserta menghidupan suasana forum Zoom Cloud Meeting.
Sambil mengucapkan ‘mantra’ jurnalistik itu, dia melakukan gerakan-gerakan tangan. Posisi tangan kanan membentuk siku tegak layaknya binaraga yang memamerkan ototnya (semangat); dilanjutkan gerakan tangan kanan seolah sedang menulis di udara (menulis); kemudian jari telunjuk kanan menyentuh pelipis kanan (kreatif).
Moderator Pelatihan Jurnalistik Softnews: Menulis Fakta Rasa Sastra itu ingin membangkitkan antusias peserta sebelum menyimak materi pelatihan yang hendak disampaikan Drs Mohammad Nurfatoni, pagi itu (11/2/2021).
Sebelumnya, acara dibuka dengan berbagai seremonial dan sambutan. Yaitu dari Ketua Majelis Dikdasmen Pimpinan Cabang Muhammadiyah GKB Gresik Nanang Sutedja SE MM dan Ketua Sinergi Jurnalistik dan Lterasi Mugeb School Ichwan Arif SS MHum. Baca Sekolah Upgrade Kemahiran Jurnalistik Guru.
Selama 60 menit kemudian, Fatoni—sapaan akrab Mohammad Nurfatoni—menyampaikan materinya. Kini para peserta bisa melihat dengan jelas wajah hingga separuh badan Pemimpin Redaksi PWMU.CO itu yang tampil di tengah layar Zoom.
Baru selesai menyampaikan salam hormat kepada para pimpinan dan peserta yang hadir, Fatoni langsung teringat materi jurnalistik terkait penggunaan salam hormat yang tepat. “Yang bener itu ‘yang terhormat’ atau ‘yang saya hormati’?” celetuknya sambil tertawa.
Kepada kontributor PWMU.CO yang menanyakan hal itu Selasa (22/2/2021), Fatoni ia berjanji akan menulis soal ini secara khusus dalam Kolom Bahasa PWMU.CO yang saat ini ia sedang aktif menulisnya. “Penulis harus berusaha menulis hal baru, belakangan saya punya pengalaman baru menulis kolom bahasa,” ujar lulusan Jurusan Pendidikan Biolofi FPMIPA IKIP Surabaya itu.
Meski mengawali karier menulisnya dengan menjadi penulis amatir di Jawa Pos—dengan honor pertama Rp 60 ribu—saat ini ia telah memiliki banyak pengalaman. “Menulis kolom atau opini sudah lama saya lakukan. Menulis puisi pernah juga (di blog pribadi: pojokhati.wordpress.com). Kalau menulis berita sejak ikut mendirikan PWMU.CO,” urainya.
Dari berbagai pengalaman tersebut, ia tertantang untuk menyampaikan materi baru. “Pengalaman adalah buku termahal. Menyampaikan perspektif baru, berusaha tidak mengulang materi yang pernah saya sampaikan,” ungkapnya.
Moderator Mar’atus Sholicha (Tangakapan layar Sayyidah Nuriyah/PWMU.CO)
Ajak Guru “Naik Kelas”
Pada ajang untuk meningkatkan kemahiran guru Mugeb School dan sekolah mitra dalam tulis-menulis ini, Fatoni mengajak para peserta untuk ‘naik kelas’. Yaitu dengan menulis berita dari hardnews ke softnews.
Meskipun membutuhkan waktu untuk menuliskan deskripsi yang detail sevagai salah satu cirinya, tulisan soft news lebih menarik untuk dibaca. “Ya harus naik kelas! Masak muridnya aja yang disuruh naik kelas?” sindirnya sambil tertawa.
Ketika dihubungi melalui WhatsApp pada Selasa (23/2/2021) pagi, Ichwan Arif membenarkan hal ini. “Penginnya, materinya (membahas) upgrade menulis berita (biasa). Tetapi berarti sama dengan (materi pada) pelatihan pertama, tidak ada kenaikan kompetensi (para peserta),” ungkap Arif menceritakan awal mula berdiskusi materi pelatihan dengan Fatoni melalui WhatsApp. Padahal, Fatoni ingin kontributor lama tetap mendapatkan materi baru.
Arif menceritakan, setelah disepakati materi yang akan disampaikan adalah kiat menulis soft news, sebuah kendala muncul. Sebab, tidak semua peserta pada pelatihan tersebut merupakan ‘pemain lama’ di PWMU.CO. “Ada yang baru dalam menulis berita, sehingga harus juga diberikan asupan materi,” terangnya.
Untuk itu, sambungnya, sebagai jalan tengah, meskipun pelatihan ini bertema softnews, tetapi materi yang terkait menulis berita juga disajikan. “(Materi) menulis berita tidak hanya konsep 5W+1H, tapi juga kedalaman menulis berita. Selain itu peserta juga diberikan rambu-rambu dalam menulis sehingga tulisan memenuhi SEO,” urainya.
Hal ini dipilih agar sajian materi pelatihan bisa dinikmati kontributor yang lama maupun baru. “Khusus kontributor lama harus lebih baik, lebih dalam lagi (saat menulis berita). Selain itu peserta juga diharapkan sudah mulai dan bisa menulis softnews sesuai yang disampaikan pemateri (usai mengikuti pelatihan ini),” harapnya.
Dapat Tanggapan Positif
Materi pelatihan ini mendapat tanggapan positif dari Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim Prof Dr Biyanto MAg. Hal ini disampaikan Fatoni sebelum menjelaskan materinya. “Pak Biyanto sampai mengirim pesan jaringan pribadi (japri) ke saya melalui WhatsApp,” ungkap Fatoni.
“Mantap iki Mas. Semoga bisa dilakukan di sekolah-sekolah lain,” pesan biyanto masuk ke ponsel Fatoni sore itu (9/2/2021). Bersama pesan itu, Biyanto juga mengirim poster kegiatan pelatihan dengan warna oranye mencolok.
Saat dihubungi PWMU.co meminta tanggapan terkait tantangan menyajikan menu baru untuk upgrade (meningkatkan) kemampuan menulis peserta, terungkap, meski tampak tenang namun Fatoni tetap merasa deg-degan.
“Dredeg selalu ada, ciri makhluk hidup. Stres juga jika belum menemukan sesuatu yang baru. Tapi karena punya ‘buku’ pengalaman menulis jadi sangat membantu,” jelasnya mealau melalui WhatsApp (22/2/2021). Dia bersyukur memiliki banyak stok pengalaman untuk dijadikan referensi.
Penulis buku Tuhan yang Terpenjara ini juga mencemaskan apakah dirinya mampu menghidupkan suasa pelatihan dengan metode daring. “Yang jadi tantangan (adalah) bagaimana mengisi secara daring, (agar) forum tetap hidup,” ungkapnya.
Kecemasan Fatoni terjawab dengan keunikan dan kelucuan yang ia lontarkan selama pelatihan. Baca: Motivasi Unik Menulis ala Pemred PWMU.CO! Belakangan diketahui kegiatan ini sudah dipersiapkan sejak satu bulan sebelumnya. “Sudah saya rancang sejak awal bulan Januari 2021,” ungkap Arif.
Nah, berikut empat sajian menu kepenulisan dari Fatoni untuk para guru dan kontributor Mugeb School dan sekolah mitra supaya “naik kelas” dalam menulis berita.
Peserta saat mengikuti tepok jurnalis (Tangakapan layar Sayyidah Nuriyah/PWMU.CO)
Menu 1: Tiga Kesalahan Menulis Berita
Yang pertama, penulis tidak memahami apa yang sedang ditulisnya. Dalam pandangan Fatoni, kesalahan ini mungkin saja tidak disadari penulis karena ia tidak memahami apa tujuannya menulis. “Sekedar menulis, hanya menjadi mozaik-mozaik kutipan nara sumber ditempel di situ, digabung dengan data 5W1H,” ungkapnya.
Karena penulis sendiri tidak menyadari kesalahannya, maka kesalahan dalam tulisan tersebut biasanya baru ditemui setelah sampai di Admin PWMU.CO—tempat kontributor mengirimkan naskah.
“Kan lucu ya menulis tapi nggak paham apa yang ditulis. Mungkin paham kata-katanya tapi sebagai sebuah keseluruhan tulisan (penulisnya sendiri) tidak paham,” ujarnya. Menurut dia, tulisan seperti ini dianggap sebagai tulisan gagal.
Selang beberapa detik, sebuah contoh tulisan ditampilkan di layar. Menurut Fatoni, tulisan tersebut tidak banyak dibaca karena membingungkan. “Tadi tertulis ‘mendapat respon baik’ tapi tidak ada penjelasan (bagaimana responnya),” komentarnya terhadap contoh tulisan yang ditampilkan. Lantas Fatoni menunjukkan hasil editan tulisan tersebut.
Ia berpesan kepada peserta agar memastikan dirinya memahami apa yang sedang ditulisnya. “Kalau dirinya nggak paham, orang lain atau editor ya nggak paham, (maka dari itu) admin atau editor (kadang perlu) meminta kelengkapan data,” terangnya.
Lebih jauh, sambungnya, kesalahan ini biasanya muncul karena tidak ditulis dari hati. “Kalau tidak dilahirkan dari hati atau pikiran yang jernih akan sulit dipahami,” tutur editor PWMU.CO sejak tahun 2016 ini.
Yang kedua, penulis merasa asyik dengan dirinya sendiri. “Kita paham apa yang kita tulis, tapi ternyata orang lain tidak paham,” terangnya. Jadi si penulis berasumsi seolah calon pembaca juga memahami maksud tulisannya. Padahal belum tentu.
Misalnya, dilakukan saat mencantumkan istilah asing tanpa memberi keterangan penjelas. Fatoni menemukan kesalahan ini banyak dilakukan oleh kontributor dari Muhammadiyah. Misalnya ketika menulis singkatan khas organisasi ini seperti PDM, PCA, PWM. Ada yang tidak mencantumkan keterangan penjelasnya.
Sebagai warga Muhammadiyah, sang penulis tentu paham. Tapi belum tentu bisa dipahami pembaca PWMU.CO yang berasal dari berbagai kelompok masyarakat luas. “Kira-kira orang PDIP paham (atau) nggak ya maksud tulisannya?” tanyanya kritis.
“Karena itu, tulislah (dengan kalimat yang) semudah mungkin (bisa) dipahami orang lain,” pesannya.
Yang ketiga, penulis tidak punya misi (menulis). Yaitu ketika menulis tapi tidak memiliki tujuan yang jelas. Yang ditulis dalam berita memang harus fakta, tidak boleh opini.Tapi wartawan dan media yang meliput tetap harus punya misi. “Angle (sudut pandang) yang diambil dalam menulis berita pasti sesuai dengan misinya,” ungkapnya.
Sangat wajar jika dari sebuah sumber kejadian yang sama, wujud berita yang muncul di media ternyata berbeda. “GKB kan sering diliput media, bisa lebih dari satu (media sekaligus pada satu acara). Nanti angle berita yang muncul di setiap media bisa berbeda,” ujar pendidri Buletin Jumat Hanif itu.
Jadi. sambungnya, penulis tidak memasukkan opini, namun bisa mengarahkan tulisan itu pada tujuan tertentu. “Inilah yang perlu disadari penulis sejak awal menulis bahkan meliput,” tuturnya. “Jadi penulis perlu menentukan apa yang mau disampaikan ketika meliput ceramah yang panjang, misalnya.”
Fatoni menceritakan pengalamannya memilih angle yang diwujudkan dalam judul Haedar Nashir: Buzzer Tak Bertanggung Jawab Musuh Pers saat menulis pernyataan Ketua Umum PP Muhamamdiyah Prof Dr KH Haedar Nashir MSi di Hari Pers Nasional, 9 Februari 2021.
Dari situ, Fatoni ingin menyoroti bahaya buzzer yang sempat disampaikan Haedar. Sementara itu, media lain seperti muhammadiyah.or.id memilih judul netral Pesan Ketua Umum PP Muhamamdiyah di Hari Pers.
Awalnya ia ingin memakai judul Pers Tak BolehTerkungkung Kepentingan Politik untuk menekankan independensi media. Tapi karena dianggap terlalu umum dan kurang menarik netizen, akhirnya ia menemukan angle yang lebih menarik dan lagi ngetrend saat ini: buzzer.
Jadi, tegasnya, tulisan tentang buzzer ini bukan karangan atau opini wartawan atau editor, melainkan mengutip pernyataan nara sumber. Tapi pemakaian judul buzzer itu memiliki misi tertentu.
“Ini loh Muhammadiyah juga ingin agar keberadaan buzzer ditertibkan pemerintah,” ujarnya menjelaskan misi yang hendak dicapai dari pemilihan judul Haedar Nashir: Buzzer Tak Bertanggung Jawab Musuh Pers. Akhirnya berita itu pun viral. Sampai berita ini dirulis, viewer-nya sudah mencapai 12,7 ribu.
Fatoni menelaskan, kesalahan yang sering ditemui kontributor adalah menulis berita secara kronologis sesuai yang disampaikan nara sumber. Hal ini menunjukkan penulis tidak memiliki tujuan. Padahal tujuan inilah yang dijadikan editor sebagai bahan membuat judul.
“Editor yang berhak membuat judul, penulis boleh mengusulkan,” ujarnya.
Menu 2: Trik Dasar Mulai Menulis
Mencari hal menarik dari hasil liputan atau wawancara untuk dijadikan berita dengan gagasan utama yang jelas dan terukur! Inilah pelajaran penting yang disampaikan Fatoni selanjutnya.
Menurutnya, hal menarik lebih mungkin diperoleh jika penulis melakukan wawancara atau observasi secara langsung. “Sebab dalam menulis softnews, penulis bisa mendeskripsikan suasana (selama) wawancara (berlangsung), (terkait) rumahnya, tokohnya, dan nuansanya,” urainya.
Sebenarnya wawancara melalui chat di WhatsApp juga memungkinkan penulis mengungkap hal yang menarik. Tentunya jika dilakukan secara serius. Pemimpin redaksi yang pernah menjadi guru honorer ini telah membuktikan dari pengalaman pribadinya.
Saat itu ia mewawancarai Wahono—seorang dosen Fakultas Pertanian dan Peternakan UMM—melalui pesan WhatsApp selama dua hari. Alhasil, terungkap sumber inspirasi menarik nara sumbernya.
“Yang ingin ditonjolkan adalah al-Quran memberi inspirasi kepada dosen yang menemukan drone itu,” terang pria yang menyukai fotografi ini.
Selain itu, tentunya dengan cara mengeksplorasi informasi dasar 5W+1H. Dalam pelatihan kali ini, Fatoni sengaja tidak mengulas poin ini secara mendalam. Sebab, ia menganggapnya sebagai hal dasar yang telah dipahami peserta. “Nggak perlu saya jelaskan, masak pelatihannya membahas 5W+1H aja,” ungkapnya.
Lantas ia menegaskan pentingnya mengeksplorasi hasil wawancara pada bagian “mengapa” dan “bagaimana” untuk menghasilkan sebuah berita. Kepada peserta yang hadir, ia memberi contoh berita—Drone Ciptaan Dosen UMM Ini Terinspirasi Surat Ar-Rahman—untuk mengulas secara singkat mengeksplorasi 5W+1H.
Kesalahan yang sering terjadi, menurutnya, penulis langsung menulis hasil transkrip lengkap dari A sampai Z, sesuai urutan yang disampaikan pembicara. Jika penulis melakukannya, berarti menunjukkan ia tidak memahami bagaian mana yang menarik untuk pembaca.
“Cari yang paling menarik! Yang kira-kira pembaca membutuhkannya. Ingat teori dasar PAMFAL: penting, aktual, menarik, aktual, dan lengkap,” tuturnya.
Fatoni kembali menegaskan agar penulis mencari hal yang paling menarik untuk disajikan sebagai gagasan utama. Gagasan utama inilah yang nanti diletakkan di alinea awal, meskipun penyampaian oleh nara sumber, misalnya, diletakkan di belakang.
“Misalnya (pernyataan) dia ceramah yang paling menarik itu di tengah atau di belakang, bisa ditarik jadi gagasan utama,” tuturnya.
Setelah itu, baru didukung dengan argumentasi-argumentasi dan contoh-contohnya. Kemudian, apa yang nara sumber sampaikan, yang tidak berhubungan langsung dengan gagasan utama, bisa dijadikan sub judul.
Jika memungkinkan, bisa dibuat dua berita: satu berita untuk gagasan utama yang paling menarik, lalu gagasan yang menarik lainnya—tapi tidak lebih menarik dari gagasan utama—itu dijadikan berita ke dua.
“Atau kalau cukup dalam satu berita, jadikan sub berita. Perkuat dengan informasi pendukung!” terangnya.
Kesalahan lain, ungkapnya, banyak orang yang sudah tahu satu kalimat gagasan menarik, tapi tidak ada informasi pendukungnya. Misalnya: ‘Pak Nanang bicara pentingnya pelatihan jurnalistik bagi guru Muhammadiyah’.
“Berita yang bagus tidak boleh berhenti di situ!” tutur Fatoni yang kehilangan virtual background Zoom Clouds Meeting di tengah acara, sehingga tampak tembok putih polos sebagai latar belakangnya.
Penulis bisa meminta informasi pendukung dengan melakukan wawancara setelah nara sumber menyampaikan materinya. “Kenapa harus terpaku sama penyampaiannya yang singkat?” ujar Fatoni mengajak peserta merenung.
“Pak, saya kurang jelas dengan informasi … mohon wawancara,” ujarnya mencontohkan.
“Apa Pak yang termasuk penting bagi sekolah Muhammadiyah?” sambungnya mencontohkan. “Misalnya untuk marketing, untuk dokumentasi, dan lainnya. Itulah informasi wawancara yang mendukung gagasan utamanya,” ujarnya.
Pria berdomisili di Desa Sidojangkung, Kecamatan Menganti, Kabupaten Gresik itu mengungkapkan, cara dasar inilah yang harus dilakukan baik saat menulis hardnews maupun softnews. “Cuma nanti di softnews agak berbeda di lead (kepala berita) nya,” jelas Fatoni.
Sebagai editor, kadang ia menanyakan kepada penulis informasi pendukung yang menerangkan dan memperdalam tulisannya. Ia bercerita pernah mendapat jawaban pasrah dari penulis, “Yang tadi disampaikan cuma gitu, Pak!” ujarnya menirukan sambil tertawa, kemudian menepuk jidat, “Waduh!”
Menu 3: Menulis SEO-able agar Tak Tenggelam di Dasar Google
Fatoni juga membagikan cara menulis yang SEO-able (sesuai dengan kaidah internet sehingga mudah dicari di Google) agar naik kelas. Seperti halnya yang telah dilakukan PWMU.CO selama ini. Tujuannya tentu supaya mudah dicari di internet.
Hal ini mengingatkan Fatoni pada tulisannya: Agar Muhammadiyah Tak Tenggelam di Dasar Google. Sebab, lebih banyak tulisan dari non-Muhammadiyah yang muncul di hasil penelusuran mesin pencari Google.
“(Berita) Muhammadiyah (yang dimuat media) ada, tapi muncul di halaman sekian. Sulit dicari karena tulisannya tidak dirancang search engine pptimalization (SEO)-able,” katanya. Llau tampilan SEO muncul di layar seiring Fatoni menjelaskannya.
Sederhananya, tips Fatoni untuk mengatasinya adalah dengan menulis. “Tidak pernah bisa dicari karena kita tidak menulis, harus menulis di internet untuk mengisi konten internet!” pesannya.
Kenyataannya tidak sesederhana itu. Tidak cukup menulis satu-dua berita, sambungnya, tapi dengan banyak menulis konten di internet. Tidak cukup pula menulis banyak konten, lanjutnya, tapi menulislah secara SEO-able.
Simak tips Fatoni berikut terkait beberapa hal yang harus diperhatikan agar tulisan jadi berkelas dalam arti SEO-able!
Yang pertama, ujarnya, melakukan survei tentang gagasan utama. Apakah sudah pernah ditulis apa belum. Jika sudah pernah ada dan penulis memiliki web yang kuat (sudah menjangkau banyak pembaca), maka bisa menulis yang serupa dengan berita yang tampil di urutan atas mesin pencarian itu.
Jika belum ada, maka kita perlu mempopulerkan frasa atau kalimat populer. “Kita perlu mengetahui frasa atau kalimat populer untuk digunakan dalam tulisan.”
Kemudian Fatoni mengajak peserta melihat urutan kemunculan PWMU.CO di Google tentang kata ‘pre wedding’. Mar’ah pun segera membuka Google dan menulis kata tersebut. Fatoni kemudian bertanya, ada di urutan berapa web Muhammdiyah?
Ia bertanya tiga kali hingga Ahmad Nasafi SPd, salah satu peserta, menyalakan mikrofonnya dan menjawab singkat, “Tujuh.”
Web urutan tujuh yang dimaksud ternyata PWMU.CO yang pernah menulis Tradisi Pre-Wedding Menurut Hukum Islam. Tulisan tersebut dibuat oleh Nadjib Hamid, Wakil Ketua PWM Jatim. Tulisan dari media mainstream seperti Kompasiana, Solopost dan Rumaysho bertengger di urutan atasnya.
Selain itu, yang tidak kalah penting adalah menulis dengan jumlah kata yang baik. Ia menceritakan hal yang biasa ditemui salah satu Co-editor PWMU.CO Ichwan Arif SS MHum, yaitu mengembalikan tulisan kontributor yang kurang dari 300 kata.
Sebab SEO menyaratkan batas tulisan minimal (adalah) 300 kata. “Kalau belum 300 kata ada indikator yang merah,” ujarnya.
Mengingat, tren di internet saat ini, tulisan yang semakin banyak semakin bagus. Tergolong baik jika memuat 600 kata, tapi lebih baik jika 600-1000 kata. Jika lebih dari 1000 disebut tulisan andalan.
Untuk naskah yang panjang, dapat dibuat sub judul setiap 300 kata. “Kalau lebih dari 300 harus dikasih sub judul!” Tuturnya.
Sub judul yang dimaksud adalah pemisah gagasan utama dengan gagasan pendukung. Fatoni menyebutkan kesalahan kontributor umumnya tidak mencantumkan sub judul. “Yang memberi sub judul baru editor,” keluhnya.
Selanjutnya, sambung dia, penulis perlu menggunakan kalimat aktif. “Agar SEO-able, naskah harus menggunakan kalimat aktif, karena bisa membantu tulisan kita dalam mesin pencarian di Google,” jelasnya. Kalimat aktif (kata kerja yang diikuti me- , ter- ) ini rasionya 90 persen, sedangkan kalimat pasif (kata kerja uyang diikuti di- ) 10 persen saja.
Selain itu, Fatoni—sesuai permintaan aplikasi Yoast—menyarankan agar penulis menggunakan banyak transisi. Misalnya, oleh karena itu, kemudian, dengan demikian, namun, maka. Rasionya, 75 persen dari keseluruhan naskah sebaiknya menggunakan transisi. Jadi hanya 25 persen yang tanpa mencantumkan transisi.
Penyakit kita biasanya, menurut Fatoni, adalah menuliskan kalimat terlalu panjang. “Tanpa jeda titik koma,” ujarnya. Padahal total keseluruhan kalimat seharusnya maksimal 20 kata saja. Lebih dari itu hanya ada 25 persen toleransi keseluruhan tulisan agar memudahkan orang untuk membaca. “Nafas enak, mata enak,” ujarnya.
Penulisan paragraf juga disarankan jangan terlalu panjang agar SEO-able. “Maksimal terdiri dari 150 kata!” Tegasnya. Kalau belum terbiasa, bisa melihat word count.
Yang terakhir, ungkap Fatoni, adalah menggunakan variasai kata. “Setiap paragraf jangan diawali ‘menurut Nanang Sutedja’ terus!” ucapnya memberi contoh.
Dia juga memberi tips agar penulis menguasai keterampilan menempatkan kapan nama penulis disebut atau jabatannya agar tidak membosankan. Termasuk menggunakan variasi kata, dengan menggunakan sinonimnya.
Termasuk dalam hal ini, hindari mengirimkan sebuah berita yang sama ke banyak media. Hal ini bisa dianggap menjiplak, sehingga tentu tidak SEO-able. “Nggak unik! Buat apa bikin berita banyak kalau seragam?” sindirnya.
Di tengah keasikannya menjelaskan materi, kain hijau di belakangnya lepas sebagian, sehingga virtual background oranye mencolok itu hanya tampak setengah. Fatoni sempat terdistraksi dengan hal ini, ia menoleh ke belakang sebentar. “Lho lepas ini!” ujarnya sambil tertawa.
Jika PWMU.CO menerima berita seperti ini, lanjutnya, maka Fatoni biasanya mengubah wujud tulisan secara total. “Kalimat harus ‘dihancurkan’, tidak mengubah makna, yaitu dengan membolak-balikkan kata dan kalimat,” terangnya.
Berdasarkan pengamatannya, kadang website yang tidak terkenal, tapi tulisan di dalamnya unik dan tidak pernah ditulis di media lainnya, justru mudah ditemukan di Google. Lantas ia kembali menegaskan tips rahasianya, “Tulis kata yang unik, jangan copas di berbagai media agar mudah dicari di Google!
Menu Penutup Paling Dinanti: Softnews!
Tidak semua berita viral adalah yang dinanti. Ada berita yang tidak viral tapi sepanjang tahun dicari orang di Google. Tulisan seperti inilah yang diperjuangkan PWMU.CO. Tentunya sangat menguras waktu dan tenaga editor.
Selanjutnya, Fatoni memaparkan—selain berita hardnews (seperti pengumuman)—ada berita softnews. Berita ini membuat tulisan lebih berkelas, yaitu yang bisa menggerakkan dan mempengaruhi.
Seperti arti kata bahasanya “soft” yaitu “lunak”, maka wujud tulisan ini seperti sastra. “Mangkanya, menulis fakta rasa sastra,” ujarnya. Softnews ini menyastrakan berita. Faktanya tetap diungkap seperti pada hardnews, tetapi menggunakan bahasa sastra yang diperdalam di bagian “mengapa (why)” dan “bagaimana (how)”.
Ia menekankan bahwa data yang ditulis tetap faktual, bukan opini atau fiksi. “Kalau menyebut air mata menetes ya memang faktanya dia menangis. Jangan dia tidak menangis tapi kita sastrakan jadi menangis,” tuturnya sambil tertawa.
Tetapi, lanjutnya, tidak mendayu-dayu (seperti cerpen) apalagi palsu! Misalnya, matahari terbit begitu indah, warnanya kuning kemerah-merahan.
Softnews menekankan rasa dan menggugah sisi humanisme. Berita biasa, sambungnya, bisa di ubah menjadi softnews. Tentunya, untuk mengolah berita softnews, perlu mencatat, merekam, dan mendatangi nara sumbernya sehingga bisa menyajikan deskripsinya.
Fatoni meceritakan pengalamannya saat menulis berita tentang Rumah Fatmawati di Bengkulu. Ia mendeskripsikan suasana dan ruangannya—apa saja ruangannya, ukuran, dan warnanya.
Tips dari Fatoni agar memudahkan proses mendeksripsikan data adalah dengan memotretnya. “Agar tidak lupa,” ujarnya. Sebab biasanya tidak langsung menulis, kalaupun langsung juga banyak yang perlu dituliskan.
Dia menerangkan, jenis tulisan yang bisa ditulis dalam softnews adalah kisah perjalanan dan obituarium (berita meninggalnya tokoh yang terkenal maupun tidak). “Jadi jangan biasa saja seperti ‘telah meninggal dunia…’ ya!” tutur pria yang pernah mengajar di SMA Muhammadiyah 1 Babat—almamaternya. Juga bekas guru SMP Arif Rahman Hakim dan SD Islam Hasanuddin Surabaya.
Selain itu, tulisan kisah di balik pertistiwa juga bisa diolah dalam bentuk softnews. Misal, dalam peristiwa jatuhnya pesawat Sriwijaya Air, maka cari penumpang yang selamat untuk diwawancarai.
Pada kesempatan ini, Fatoni mengungkap ‘alat’ utama yang diperlukan dalam menulis softnews adalah imajinasi, perasaan yang kuat, dan bahasa yang kaya. Imajinasi dalam hal ini bukan menulis fiksi, melainkan dalam hal menggambarkan peristiwa dan membuat judul. “Kalau tidak banyak imajinasi, judulnya saya tolak itu, Mas Arif!” curhatnya di tengah menjelaskan.
Dia menyampaikan, menulis softnews juga berarti menghadirkan imajinasi dan perasaan pembaca ke dalam peristiwa. “Karena itu kekuatannya ada pada deskripsi, menceritakan suasana yang dialami nara sumber,” terangnya. Atau ruang dan waktu.
Kemudian ia menjelaskan softnews yang pernah ditulisnya, di mana pembaca yang belum sempat ke China bisa mengetahui kondisinya di sana. Judulnya: Shalat Dhuhur Berjamaah dengan Suhu 3 Derajat Celcius di Lianxia Tiongkok
“Saya menggambarkan bagaimana santrinya berkuncir, kuncirnya seperti apa. Kalaupun tidak ada foto yang ditampilkan, pembaca tetap bisa membayangkan,” inilah yang dimaksud Fatoni tulisan softnews bisa menghadirkan ‘TKP’ (tempat kejadian perkara) pada pembaca.
Tak hanya itu, Fatoni menyebutkan bahwa menulis softnews juga perlu kemampuan penulis dalam menggali nara sumber. Tujuannya agar tersaji narasi yang istimewa, “Yang unik, baru, menginspirasi, dan menggugah rasa,” urainya.
Tulisan softnews yang baik juga mampu menggerakkan pembaca untuk berbuat baik: menginspirasi. “Misalnya dia sampai menangis, lalu tergerak mengulurkan bantuan,” ujarnya sambil menyebut berita dari Berlian School yang pernah dimuat PWMU.CO, yang menggerakkan orang berdonasi.
Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan Berlian School Nur Hamidah SPd—yang menulis berita tersebut menceritakan pengalamannya secara pribadi kepada Sayyidah Nuriyah dengan suara bergetar dan merinding, (11/2/2021).
Mengetahui musibah itu menimpa salah satu siswinya, ia merasa kasihan. Ia berempati dengan siswi kelas VI yang “ditinggal” wafat orangtuanya saat hari pertama Ujian Nasional.
Seluruh pihak sekolah termasuk jajaran kepala dan wakilnya merasa duka cita yang mendalam. Setelah mereka menggelar rapat, berangkat dari kuatnya empati dan duka cita tersebut, tercetus ide untuk memuatnya di media PWMU.CO.
Tulisan Mida—sapaannya—berjudul Ditinggal Wafat Ibunya saat Berjuang Hadapi USBN, Kini Aulia Yatim Piatu itu ternyata mampu menggerakkan hati banyak orang.
“Alhamdulillah, banyak banget habis gitu yang mau donasi, sampai tanya ke sekolah mau mengangkatnya menjadi anak,” ungkap Mida—sapaan akrabnya. Tidak berhenti di situ, tulisan tersebut juga menggerakkan co-editor PWMU.CO Ichwan Arif untuk meliputnya lebih lanjut.
Fatoni menjelaskan, saat itu jadi berita viral sampai dibaca puluhan ribu orang. Sayangnya, saat perbaikan tampilan web PWMU.CO tahun 2019, viewer-nya kembali jadi nol.
Tapi menurut dia, viral itu bonus. Yang utama adalah bagimana kita semangat menulis, menginspirasi, dan mengerakkan, dan menghibur, berapa pun pembacanya. Maka softnews-kan: menulis fakta rasa sastra! (*)
sumber : https://pwmu.co/180041/02/25/empat-trik-dasar-menulis-softnews-berita-rasa-sastra/