MALANG – Aksi penanaman 10 juta pohon yang digalang Kementerian Koordinator bidang Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) memiliki nilai terapi kejut terhadap sakitnya etika lingkungan yang sudah akut.
“Agar aksi ini tidak berhenti menjadi sebatas jargon, harus ada kebijakan nasional yang tertulis untuk menjamin keberlanjutannya. Tanam pohon itu proyek generasi dan berjangka panjang,” kata Dr Abdul Aziz SR, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Brawijaya (UB) Malang, Rabu (25/5/2022).
Aksi penanaman 10 juta pohon, di-launching Menko PMK) Muhadjir Effendy, hari Selasa (24/5/2022) di Bali. Aksi ini merupakan agenda Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM). Sekaligus bentuk komitmen Indonesia mendukung The Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) 2022.
Aksi ini merupakan kerja kolaborasi Kemenko PMK dengan lintas kementerian. Melibatkan kalangan perguruan tinggi, sekolah, organisasi sosial kemasyarakatan dan pelbagai elemen masyarakat yang lain. Penananam akan dilakukan di 34 provinsi seluruh Indonesia sepanjang tahun 2022 – 2023.
Menurut Abdul Aziz, aksi tanam 10 juta pohon ini pada momentum terbaik. Sangat strategis. Saat ini kondisi lingkungan sangat memprihatinkan. Hal ini terjadi karena sudah sangat lama kegiatan pembangunan fisik dan ekonomi cederung abai terhadap etika lingkungan.
Dampaknya, kata penulis buku Ekonomi Politik Monopoli ini, terjadi kerusakan lingkungan seperti merebaknya kawasan lahan kritis, menyusutnya sumber air, pengikisan pantai. Kerusakan ini, bukan hanya menjadi masalah domestik tetapi memberi kontribusi terhadap kerusakan global.
Aksi ini bukan semata-mata proyek. Tapi harus menjadi gerakan pemerintah bersama masyarakat. Kalaulah disebut proyek, ini merupakan proyek jangka panjang atau proyek generasi.
Menurut mantan Direktur Eksekutif Centre for Public Policy Studies (CPPS) Surabaya – lembaga pemikir yang menjadi mitra Pemprov Jatim jaman Guberur Imam Oetomo – proyek atau aksi semacam ini sudah sering kali dilakukan. Misalnya rebosiasi hutan. Tapi yang sering terjadi, proyek semacam ini tidak jelas kelanjutannya. Awal-awal saja kelihatan giat, penuh semangat tapi cepat sekali hilang tanpa kabar. Berhenti menjadi jargon semata.
“Saya kira pernyataan Pak Menko PMK Muhadjir Effendy agar aksi ini tidak berhenti menjadi jargon merupakan ajakan atau otokritik agar kalangan pemerintah melakukan instropeksi, atau istilah Jawa mulat salira hanggroso wani,” katanya.
Aziz mengatakan, Indonesia ini terkenal sebagai negara yang kaya jargon. Mulai dari pusat sampai daerah hebat membuat jargon. Misalnya, keadilan untuk semua, kesejahteraan rakyat, maju bersama. Tapi jargon-jargon itu berhenti sebagai wacana politik. Tetapi sangat sulit terwujud dalam kenyataan sosial dan ekonomi.
Otokritik Muhadjir ini baru berarti jika mampu menggoyang pemerintahan. Bukan menggoyang masyarakat dan kalangan pencinta lingkungan. “Kunci aksi tanam pohon ini pada keberlanjutannya. Untuk itu harus ada aturan tertulis yang memayunginya. Harus ada pemegang otoritas yang bertanggung jawab,” kata editor buku Politik Indonesia Kini dan buku Republik Salah Kelola ini.(ANO)