Sejak muda, ia sudah bergelut dalam dakwah. Keluasan ilmunya membuat ia disegani ulama-ulama lainnya. Ia dibesarkan di lingkungan NU, nyantri di Persis, dan berkiprah di Muhammadiyah.
Waktu menunjukan pukul 04.30 WIB subuh dinihari, saat kami tiba di Masjid Nurul Azhar, Porong, Sidoarjo Jawa Timur. Adzan subuh sudah lama berlalu, namun jamaah masih terlihat menunaikan shalat. Tampaknya sang imam membaca surah yang panjang. Meski pagi buta, parkiran kendaraan yang terdiri dari sepeda ontel dan motor terlihat padat berjejer rapi. Hal ini mungkin berbeda dengan di beberapa daerah lainnya, dimana subuh hanya diisi berapa shaf saja.
Subuh itu kami datang ke masjid tersebut untuk menemui Ustadz Abdurrahim Nur, tokoh Jawa Timur yang sangat disegani. Kurang afdol rasanya jika berkunjung ke Sidoarjo, namun tidak bertemu dengan ulama yang dikenal luas ilmunya tersebut. Bagi masyarakat Sidoarjo, sosok ini memang menjadi panutan.
Pagi bakda subuh, di pertengahan Juni tahun 2005, kami berkesempatan mengikuti kajian tafsir yang diajar oleh beliau. Cara ia mengajar sangat sederhana dan tradisional. Jamaah yang hadir duduk melingkar sambil mendengarkan uraian sang ustadz. Metode ini terkenal dengan sebutan sorogan.Pesantren-pesantren tradisional menggunakan metode sorogan untuk mengaji kitab kuning. Di depan jamaah terpampang black board yang sudah ditulisi dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits oleh sang ustadz sebelum mengajar.
Pagi itu, Ustadz Abdurrahim Nur mengkaji ayat tentang perintah menegakkan shalat. Materi ini tampaknya sengaja dipilih, karena pada saat itu di Jawa Timur sedang santer dibicarakan kontroversi shalat dua bahasa yang digagas oleh seorang mantan petinju, Yusman Roy. “Menegakkan shalat itu bukan hanya ketika shalat, tetapi di luar shalat kita harus menjaga sikap sesuai aturan Allah SWT,” ujar Abdurrahim menerangkan.
Pengajian berjalan sangat egaliter. Jamaah bisa bertanya langsung tanpa menunggu uraian selesai. Jika ada jamaah yang ingin menanggapi, Abdurrahim menyilakan untuk tidak segan-segan memberikan bantahan. Ia sangat terbuka menerima pendapat dan masukan dari para muridnya. Jika tak tahu jawaban tentang apa yang ditanyakan, ia berjanji akan memberikan jawaban di lain waktu. Ini menunjukkan sikap tawadhu’nya, untuk tidak merasa serba paling tahu dan sombong.
Abdurrahim Nur dilahirkan di desa Porong, Jawa Timur pada 17 September 1932. Ia lahir dari keluarga yang sangat sederhana. Lingkungan desanya pada saat itu adalah pekerja tambak, sebagaimana juga mata pencaharian kedua orangtuanya. Ia dibesarkan dalam lingkungan yang sangat tradisional. Pagi ia diajak orangtuanya ke tambak, malam hari mengaji Al-Qur’an. Jika tak mengaji, Abdurrahim kecil kerap dimarahi orangtuanya. Tempaan sejak kecil inilah yang membuatnya terus tertarik untuk mendalami agama.
Abdurrahim kecil pernah belajar Al-Qur’an di Pondok Pesantren Tirmidzi, Porong. Untuk belajar ke sana, Abdurrahim harus berjalan kaki puluhan kilo meter. Ia berangkat seusai shalat ashar, dan baru tiba saat masuk waktu maghrib. Di pesantren ini ia tak hanya belajar mengaji Al-Qur’an, tapi juga mendalami ilmu nahwu dan sharaf yang diajarkan kiayi Manshur, pimpinan pondok tersebut.
Selepas dari Ibtidaiyah dan Tsanawiyah, ia melanjutkan mondok di Pesantren Darul Ulum, Peterongan, Jombang. Di pesantren ini Abdurrahim tidak sempat menyelesaikan pendidikan tingkat aliyahnya. Saat itu tahun 1948, di Jawa Timur sedang berkecamuk agresi militer kedua Belanda. Suasana ini membuat kondisi belajar mengajar di Jawa Timur terhenti. Para santri turut berjuang bersama arek-arek Suroboyo untuk mengusir penjajah. Dengan susah payah, saat itu Abdurrahim harus pulang berjalan kaki dari Jombang menuju tempat tinggalnya di Porong.
Kegiatan belajar Abdurrahim sempat terhenti selama dua tahun. Pada saat itu ia mengisi kegiatan dengan berdagang bersama teman-temannya. Namun semangatnya untuk terus menimba ilmu tidak pernah surut. Saat ada informasi sekolah di Pesantren Persis Bangil tahun 1950, ia segera mendaftarkan diri bersama temannya yang dulu nyantri di Jombang.
Abdurrahim mulai memasuki kehidupan barunya selama menimba ilmu di Bangil. Mesti berlatarbelakang NU, ia tak mengalami kesulitan beradaptasi dengan lingkungan Persis, yang saat itu terkenal tegas dalam memberantas bid’ah, takhayul, dan khurafat. Persis Bangil saat itu masih dipimpin oleh Allahyarham Ustadz A. Hassan. “Waktu itu penilaian terhadap Persis masih sangat ekstrem,”tuturnya.
Pada perjalanan selanjutnya, Persis begitu memberi pengaruh terhadap pemikirannya. Saat di Persis, Abdurrahim dikenal sebagai santri yang cerdas. Ustadz Abdul Qadir Hassan, putra A. Hassan, kerap memuji dirinya karena kecerdasan dan kegigihannya dalam menimba ilmu. Tak hanya itu, Ustadz Qadir juga kagum dengan keuletannya dalam berdakwah. Selama nyantri di Bangil, kegiatan dakwah Abdurrahim tak pernah berhenti. Ia salah seorang santri yang mendapat keistimewaan untuk bisa nyambi berdakwah di luar selepas jam pelajaran sekolah. Usai jam pelajaran, ia pamit ke luar untuk berdakwah ke beberapa daerah di Pandaan, Porong, hingga ke pelosok-pelosok desa.
Ustadz Abdul Qadir begitu menyayangi Abdurrahim. Ia merasa, Abdurrahim adalah murid yang mampu mengamalkan apa yang diajarkan di Persis dalam dakwahnya. Saat itu Persis dikenal sebagai harakah tajdid (gerakan pembaru). Tak heran, sangat sulit bagi Abdurrahim untuk memberikan pengajaran sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah di tengah kondisi masyarakat saat itu yang masih berpegang kuat pada tradisi.
Saat menjadi santri di Persis Bangil, Abdurrahim masih tercatat sebagai Ketua GP Ansor Jawa Timur. Pilihannya masuk ke Persis membuatnya dikucilkan dari lingkungannya di organisasi kepemudaan NU tersebut. Ujungnya, Abdurrahim memilih untuk mengundurkan diri dari jabatan itu. Ia merasa keberadaanya di GP Ansor untuk berdakwah, dan keluarnya ia dari organisasi itu juga untuk dakwah.
Kecerdasan Abdurrahim sampat ke telinga Mohammad Natsir, tokoh Masjumi yang juga sahabat karib Ustadz Abdul Qadir Hassan. Natsir yang saat itu mendapat penawaran dari pemerintah Gamal Abdul Naser untuk mengirim pelajar-pelajar muslim dari Indonesia untuk belajar di Universitas Al-Azhar, Kairo, kemudian memilih Abdurrahim dan beberapa santri Persis Bangil lainnya untuk dikirim menimba ilmu di universitas tertua di dunia tersebut. Dengan demikian, tahun 1955 Abdurrahim berangkat untuk melanjutkan studi tingkat sarjananya di Mesir atas biaya Mu’tamar Al-Alam Al-Islami (MAI). Saat itu, ia dan kawan-kawannya termasuk rombongan pertama pelajar Indonesia yang dikirim Natsir untuk studi ke Mesir.
Di Al-Azhar, Abdurrahim memilih fakultas Ushuluddin dan mengambil konsentrasi belajar dalam bidang tafsir hadits. Semasa kuliah, ia juga diangkat menjadi guru tetap pada sekolah Indonesia di Mesir. Abdurrahim menyelesaikan masa studinya di Kairo pada tahun 1963 dan mendapat gelar licenceI (Lc).
Kepulangan Abdurrahim dari Kairo menjadi kabar yang menggembirakan bagi Ustadz Qadir dan para santri Persis Bangil. Acara meriah pun digelar untuk menyambut kedatangannya. Untuk beberapa tahun, ia didaulat oleh Ustadz Qadir untuk mengajar di pesantren tersebut. Sebelumnya, Abdurrahim sempat ditawari oleh Natsir untuk berkiprah di Jakarta. Namun, dengan alasan ia harus mengabdi di kampung halamannya, tawaran tersebut ditolaknya secara halus.
Nama Abdurrahim kian tersohor. Ia kemudian menjadi kepala sekolah PGA Muhammadiyah, Porong. Selanjutnya, Abdurrahim ditawari oleh Prof Syafi’i Karim untuk menyalurkan ilmunya di IAIN Sunan Ampel, Surabaya. Karirnya di IAIN sempat mengantarkannya menjadi dekan fakultas Ushuluddin pada tahun 1975 sampai tahun 1979. Pada masa selanjutnya, ia juga dipilih sebagai salah seorang ketua MUI Jawa Timur.
Kemampuannya dalam membina umat juga mengantarkan Abdurrahim duduk di pucuk pimpinan wilayah Muhammadiyah Jawa Timur selama tiga periode berturut-turut dari tahun 1987 sampai tahun 2000. Kepemimpinannya di Muhammadiyah mampu menjembatani segala perbedaan yang ada di jam’iyah tersebut. Di kalangan NU, ia dikenal sebagai sosok yang bersahabat dan bisa menjalin kerjasama. Sikapnya bahkan sempat disamakan dengan sosok Natsir yang mampu menjadi perekat dan pemersatu umat.
Di lingkungan Muhammadiyah, Abdurrahim Nur sangat disegani. Nasihat-nasihatnya sering dijadikan rujukan. Ia termasuk tokoh tua Muhammadiyah yang dijadikan tempat berkonsultasi jika ada kemelut dalam tubuh organisasi tersebut. Mantan ketua PP Muhammadiyah, Prof. Amien Rais, termasuk orang yang menjalin hubungan erat dengannya. “Ia sahabat, sekaligus guru bagi saya,” kata Amien Rais.
Di usianya yang senja, Abdurrahim masih terus giat berdakwah. Usia tak menghalanginya untuk terus membina umat, termasuk aktivitasnya mengasuh puluhan anak yatim di tempat tinggalnya. Hari-harinya disibukkan juga dengan mengurus pengajian Fajar Shadiq, pengajian Ahad pagi yang sangat terkenal di Jawa Timur, yang dihadiri ratusan orang setiap acaranya.
Meski dikenal moderat, Abdurrahim sesungguhnya sangat tegas dalam soal akidah. “Kalau berdebat soal agama, ia sangat argumentatif dan tegas, tapi tetap dengan gaya penyampaian yang lembut,” ujar Prof. A Syafiq Mughni, tokoh Muhammadiyah yang pernah menjadi murid Abdurrahim waktu di Bangil. (Artawijaya)
*pernah dimuat di Majalah Sabili pada Juni 2005 M/Jumadal Awal 1426 H